Orang yang paling berbahaya adalah orang yang tidak beradab. Karena tanpa adab, manusia hampir tak ada bedanya dengan binatang. Dengan sifat kebinatangan itu, ia melakukan pengrusakan, penghancuran, dan penghinaan.
Mungkin pada mulanya seseorang tidak beradab pada tataran yang luas, tetapi kemudian melebar hingga ke yang kecil. Misalnya saja, dia tidak lagi mempermasalahkan makan dengan menggunakan tangan kanan atau kiri. Baginya sama saja. Sebab keduanya adalah pemberian Tuhan. Ketika disodorkan hadits Nabi yang memerintahkan untuk menggunakan tangan kanan, dia menolak. Baginya, yang penting substansinya.
Demikianlah. Padahal hadits tersebut bersifat universal. Sungguh tidak beradab jika seseorang makan dengan tangan kiri sementara dengan tangan itu juga ia membersihkan kotoran di kemaluan dan duburnya. Atau seseorang yang membersihkan piring dengan celana dalam, sekalipun celana dalam itu baru dibelinya. Karena kita sebelumnya sudah mengenal adab dan sopan santun, sehingga kita mengatakan tindakan itu sebagai tindakan tidak beradab.
Ada pula orang yang berani mengatakan dirinya seorang Nabi, setan, dan malaikat. Menurut mereka pada hakikatnya mereka mendakwahkan sebaliknya. Benarkah? Jika mereka ingin berdakwah, contohlah dakwahnya orang-orang saleh, kecuali mereka hanya mencari sensasi dan popularitas semata.
Tingkatan adab (ta’dib) lebih tinggi daripada ilmu (ta’lim), karena orang yang beradab sudah pasti orang yang berilmu. Tetapi orang yang berilmu belum tentu orang yang beradab. Buktinya? Apa kurang pintarnya orang Yahudi, tetapi ternyata Allah mencap mereka sebagai “Keledai yang membawa kitab-kitab”. (QS. al-Jumu’ah: 5). Kecerdasan mereka tidak disyukuri dan digunakan di jalan yang Allah ridhai. Kerancuan dan kerusakan ilmu disebabkan karena mereka mengabaikan adab ini. Mereka bergelar Profesor Doktor tetapi kelakuannya menyimpang. Anehnya, mereka tetap dijadikan rujukan ilmu pengetahuan.
Sementara di dalam Islam, kita mengenal integralisme. Para ulama dan Ilmuwan muslim adalah orang-orang yang menguasai agama sekaligus ilmu-ilmu keduniaan. Mereka adalah orang yang taat menjalankan perintah agama sekaligus orang yang sangat pakar di masing-masing bidangnya. Di dalam ilmu hadits dikenal istilah jarh wat ta’dil. Yaitu ilmu yang meneliti keadaan perawi hadits. Jika seorang perawi dikenal sering berdusta, berbuat maksiat, dan perbuatan buruk lainnya, otomatis perawi tersebut tidak diterima.
Saat ini bermunculan orang-orang yang berpandangan liberal. Mereka menyerap ilmu-ilmu Barat begitu saja tanpa adanya proses penyaringan dan penolakan. Memang, tidak ada yang salah jika kita mempelajari pemikiran orang-orang Barat, tapi bukan berarti kita harus ikut-ikutan kemana saja mereka melangkah. Bahkan sampai ke jurang pun, oke-oke saja. Orang yang bertaklid, kata Syaikh Yusuf al-Qaradhawi, tak ada bedanya dengan binatang yang dicucuk hidungnya. Kemana pun sang majikan menyeretnya, binatang itu pasti mengikutinya.
Karena falsafah pemikiran Barat dan Islam jauh berbeda, orang liberal memandang Islam dari kacamata pemikiran Barat. Karena dunia Barat saat ini sedang berada “di atas”, lantas mereka memandang Islam saat ini rendah, hina, sedang sakit. Kemudian mereka berpaling pada Barat dan meninggalkan Islam yang “sakit” itu. Padahal yang sakit itu umatnya, bukan Islam; yang harus diperbaiki itu umat, bukan Islam. Islam dari dulu hingga kiamat tetap mulia dan agama yang paling benar.
***
Sudah menjadi rahasia umum jika landasan pemikiran Barat adalah materialisme. Sekalipun saat ini banyak di antara pemikir Barat menyuarakan spritualisme. Tetapi spiritualisme yang mereka maksud adalah bukan agama. Mereka berpendapat bahwa seorang Albert Camus yang ateis itu adalah seorang spritualis. Spritualisme mereka adalah nama lain dari “bagian terdalam pada diri manusia.” Memang, agama, menurut mereka, memberikan saham bagi keberlangsungan spiritualitas manusia, tetapi tidak semuanya. Mereka membuang beberapa bagian dari ajaran agama yang menurut mereka bertentangan dengan “spiritualisme”. Mereka hanya mengambil mana yang baik menurut pemikiran mereka, tidak hanya dari satu agama, tetapi dari seluruh agama kemudian disatukannya. Inilah yang mereka maksud dengan spiritualisme.
Sedangkan menurut Islam, spiritualisme tidak bisa dipisahkan dari agama. Apa yang ada di dalam agama (baca: Islam) adalah sepenuhnya baik untuk manusia. Jika manusia belum menemukan kebaikan di dalamnya, karena akal manusia terbatas kemampuannya. Jadi, intinya, pemikir-pemikir Barat hampir tidak pernah bergeser dari pemikiran pendahulu-pendahulunya. Mereka tetap condong pada materialisme sekalipun mereka kerap berbicara spiritualisme.
Jika sudah menyentuh definisi materialisme, ia akan membawa kita pada pemahaman bahwa dunia ini secara absolut di atur oleh undang-undang materi. Dengan demikian, ia menafikan adanya Allah (wujudullah). Sehingga para ilmuwannya sering mengatakan, “Sains tidak bisa membuktikan Tuhan itu ada atau tidak ada.” Padahal bukti-bukti keberadaan Allah melalui sains sudah sangat banyak. Tapi, kenyataan itu selalu mereka pandang skeptis. Jadilah mereka memasuki sebuah lingkaran ketidakpastian selama-lamanya. Dan dengan sendirinya mereka memproklamirkan pandangan mereka: Kebenaran itu relatif, termasuk kebenaran agama.
Mereka bukanlah pengusung kebebasan sejati. Yang mereka usung adalah gaya kebebasan kelompok mereka sendiri. Jika ada suatu kelompok yang tertindas dan kelompok tersebut tidak sesuai dengan ideologi pemikiran mereka, mereka tidak akan membelanya. Mereka membela Amerika yang dizalimi oleh para teroris dan ekstrimis, tetapi mereka enggan membela saudara-saudara mereka di Palestina, Irak, Afghanistan yang notabene jauh lebih di zalimi. Bahkan mereka menuduh para mujahidin sebagai teroris dan berpikiran sempit. Mereka tidak ubahnya corong bagi para kapitalis kolonialis. Oleh karena itu, tidak bisa disalahkan jika ada orang yang menuduh mereka sebagai antek-antek kapitalis kolonialis.
***
Membaca berita di Sabili No. 9 Thn. XV tentang seorang dosen di sebuah Universitas Islam yang melecehkan hadits Nabi dan umat Islam, sepertinya bukan hal yang baru. Karena berita-berita pelecehan yang hampir sejenis, kerap dilakukan oleh orang-orang liberal. Dan hal ini sudah menjadi tipikal mereka, yaitu tidak beradab pada agamanya sendiri. Orang-orang liberal bisa saja mengatakan bahwa itu hak mereka mengatakan atau melakukan pelecehan itu. Hak mereka menginjak-nginjak kitab suci. Tentu saja terserah meraka mengatakannya seperti itu, tapi mereka harus menyadari bahwa kewajiban itu ada di atas hak. Dan kewajiban kita terhadap orang lain adalah menghormatinya. Artinya, kebebasan itu ada batasnya. Tidak seenaknya saja orang mengatakan ini itu kecuali orang itu tidak beradab alias binatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar