Sabtu, 03 Maret 2012

Nikmat Sebagai Ujian


Saya menonton Film Dokumenter tentang gunung berapi di TV. Dari film itu, saya dapati kenyataan bahwa daerah sekitar gunung berapi sangat subur dan indah. Fakta ini membuat saya merenung sejenak. Di balik kengerian gunung berapi tersimpan keindahan, dan di balik kesuburan dan keindahan alam sekitarnya tersimpan kengerian jika gunung itu meletus.

Saya lantas berkata dalam hati, sesungguhnya kesuburan dan keindahan alam adalah nikmat yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya. Jika saja manusia tidak bersyukur atas pemberian-Nya itu, niscaya gunung itu akan meletus tiba-tiba. Saat itu, manusia bergelimang maksiat dan merusak alam sekitarnya sedemikian rupa hanya untuk memperturutkan hawa nafsunya. Sebagai contoh adalah kaum Pompeii. Menurut Harun Yahya, daerah di mana kaum Pompeii tinggal dikenal dengan kesuburan dan keindahannya. Namun kaum Pompeii tidak sanggup menerima ujian Allah itu. Mereka berbuat maksiat dan melupakan Tuhan yang memberikan mereka banyak kenikmatan. Akhirnya Allah letuskan gunung berapi di dekat mereka secara tiba-tiba. Binasalah mereka semuanya. Jasad-jasad mereka yang membeku karena abu vulkanik masih bisa dilihat hingga kini. Kenyataan ini membuktikan bahwa Allah hendak memberikan pelajaran kepada generasi sesudahnya. Yaitu agar mereka tidak gemar berbuat maksiat sebagaimana kaum Pompeii.

Kejadian-kejadian yang sama juga terjadi pada kaum-kaum yang lain, seperti kaum Aad, Tsamud, Sadum, Fir’aun dan kaumnya, dan kaum Nabi Nuh As.. Allah telah memberi mereka nikmat yang banyak, namun mereka mengkufurinya. Allah memberi mereka tubuh yang kuat dan dengan tubuh itu mereka mampu membuat gedung-gedung yang tinggi dan megah. Allah juga memberi mereka lahan pertanian dan perkebunan yang subur, namun dengan tiba-tiba Allah musnahkan semua itu dari mereka. Begitu mudahnya Allah melakukannya seperti membalikkan telapak tangan, bahkan lebih mudah lagi.

Saya kembali berkata dalam hati, bukankah negeriku ini terkenal dengan keindahan alamnya dan kesuburan tanahnya? Bukankah juga negeriku ini terkenal dengan banyaknya gunung berapi? Sungguh, begitu sangat dekatnya kenikmatan, seiring dengan begitu dekatnya kengerian azab. Oleh karena itu, nikmat yang banyak yang Allah berikan kepada kita, bukanlah tolok ukur bahwa Dia mencintai kita. Seperti halnya musibah, pada hakikatnya nikmat itu adalah ujian bagi kita. Jika kita mendapat musibah, Allah menguji kita apakah kita bersabar atau tidak. Jika kita mendapat nikmat, Allah menguji kita apakah kita bersyukur atau tidak.

Kadang saya melihat kekayaan dan banyaknya kenikmatan yang diperoleh orang-orang yang kafir dan fasik. Betapa hebatnya mereka, betapa bahagianya mereka. Lalu, saya melihat kemiskinan dan kesengsaraan orang-orang beriman. Betapa menyedihkannya mereka. Kemudian saya menyadari bahwa pemikiran saya selama ini salah. Saya seperti tetangga Qarun yang melihat Qarun dan mereka menginginkan seperti apa yang dimiliki Qarun. Mereka melihat Qarun dengan takjub, padahal Qarun adalah orang yang jahat. Mereka melihat Qarun dari segi materi belaka, tetapi buta akan kejahatannya. Kemudian datanglah orang-orang yang ingat akan kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti. Mereka memperingatkan tetangga-tetangga Qarun itu tentang siapa Qarun sebenarnya dan memberikan pelajaran tentang hakikat dunia yang fana ini. Kemudian Allah memperlihatkan kebenaran apa yang dikatakan oleh orang-orang yang berilmu itu. Yaitu mengazab Qarun dengan cara membenamkannya ke dalam tanah. Lalu, tetangga Qarun itu pun sadar dan bertaubat. Mereka berkata, “Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambanya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita, benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang- orang yang mengingkari (nikmat Allah).” (QS. al-Qashash: 82).

Mudah-mudahan kita dapat bertaubat dengan istiqomah sebagaimana tetangga Qarun itu akhirnya bertaubat. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar